**Setengah Hati yang Tak Pergi**
Pada gelap ke berapa,
kamu merindukan aku sebagai setengah hati
yang tidak ingin pergi?
Seperti bayang yang berdiam,
tergantung di antara senja dan malam,
tak pernah sepenuhnya hilang,
tetap mengisi ruang yang kosong,
meski seharusnya aku telah pergi jauh.
Apakah itu gelap pertama,
ketika kita masih saling mengenal hanya lewat mata,
belum sempat menyentuh jiwa satu sama lain?
Ataukah gelap kedua,
di mana kata-kata yang tak terucap
berpadu dengan sunyi yang tak terkatakan?
Aku bertanya pada setiap malam yang memelukmu,
pada hembusan angin yang membawa rindu tanpa suara,
pada detik yang berlarian,
apakah kamu merindukan aku
sebagai setengah hati yang masih bertahan,
meski ada bagian yang ingin pergi,
tapi tak tahu ke mana?
Ada saatnya aku ingin menjadi seutuhnya,
utuh dalam keberadaan,
bukan setengah hati yang terus terombang-ambing
di antara dua dunia yang tidak sepenuhnya bisa ku miliki.
Namun, kenapa tetap ada di sini,
menunggu pada setiap sudut ruang yang sempit?
Mungkin karena aku masih mengenal bau tanah
tempat pertama kita bertumbuh,
tempat kita mulai belajar untuk mencintai
tanpa pernah tahu kapan kita harus melepaskan.
Pada gelap ke berapa,
kamu merindukan aku—
setengah hati yang tak bisa pergi,
seperti cerita yang tidak ingin ditutup,
meskipun halaman-halamannya mulai menguning,
dan waktu yang terus melaju
tak memberi kesempatan untuk kembali.
Namun aku tahu,
meski aku hanya setengah hati yang tertinggal,
meski kamu dan aku tak lagi utuh,
ada bagian dari kita yang tetap ada,
tertanam di antara detik yang tak bisa kita hentikan,
terukir dalam sunyi yang tak pernah pudar.
Pada gelap ke berapa,
kita merindukan sesuatu yang tidak pernah benar-benar hilang—
sebuah janji yang tinggal di antara dua dunia,
di mana cinta dan kehilangan bertemu,
dan kita belajar menerima kenyataan
bahwa kadang, setengah hati yang tidak ingin pergi
justru yang paling setia menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar