Takdir Yang Memilih, Hidup Yang Menjalani
Kita adalah yang terpilih untuk hidup,
juga terpilih untuk mati.
Seperti daun yang jatuh dalam pelukan angin,
tanpa bisa menawar kapan ranting melepasnya pergi.
Kita hadir bukan karena permintaan,
tapi karena semesta menghendaki keberadaan.
Hidup itu pilihan, katanya,
sebuah kesalahan definisi.
Nyatanya, kita yang dipilih untuk hidup,
diundang ke dunia tanpa mengetuk pintu,
diletakkan dalam takdir yang tak kita susun.
Seperti sungai yang mengalir ke muara,
kita mengikuti arus yang entah ke mana bermuara.
Kita bernapas karena dipilih,
berjalan karena dijalankan,
bertemu karena benang-benang waktu telah disulam,
dan mencinta karena semesta menghendaki kita merasakan kehilangan.
Sebab cinta bukan sekadar rasa,
melainkan jejak yang tertinggal setelah perpisahan datang.
Tak ada yang benar-benar bebas,
hanya mereka yang percaya bahwa memilih adalah kuasa.
Padahal, kita hanya mengikuti langkah yang telah lebih dulu ditoreh,
menapaki jalan yang sudah ditentukan semesta.
Kita ibarat bidak dalam permainan,
bergerak di papan yang telah digoreskan garis-garis takdir.
Namun, jika takdir yang menuntun,
biarlah kita tetap menggenggam harapan.
Karena meski dipilih untuk hidup,
kita masih bisa memilih cara mencintai kehidupan.
Mencintainya dalam sunyi atau dalam tawa,
membiarkannya berlalu atau mengabadikannya dalam kata.
Sebab meski hidup telah ditentukan,
cara kita menjalani, cara kita merasakan,
adalah satu-satunya kebebasan yang tersisa.
Baca Juga : Membacamu Melebihi Sunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar