Rahim Puisi
Menelanjangi bait, menyetubuhi luka.
Ahhh, secepat itu perih berejakulasi.
Menyebar ke rongga rahim puisi,
mengandung duka, lahir pun air mata.
Siapa yang menghamili sajak ini,
jika bukan kesedihan yang tak kunjung reda?
Kata-kata merintih di antara sela napas,
menyusui sunyi dari payudara rindu yang pecah.
Malam melahirkan baris-baris yang menggigil,
tangisnya menggemakan kepedihan yang tak tertuliskan.
Tinta hitam mengalir seperti darah,
melukiskan nyeri di atas kertas yang kehabisan cahaya.
Dan engkau,
yang menulis puisi dengan nyawa,
apakah lelah melahirkan kesedihan yang sama?
Atau justru kau menikmati perihnya,
sebab hanya di dalam luka, kau merasa hidup?
Kau biarkan lembar-lembar kertas menjadi ranjang,
tempat kesakitan bersetubuh dengan ingatan.
Huruf-huruf mengerang, bersimpuh di antara baris,
memohon jeda dari kepedihan yang kau ukir.
Puisi-puisimu adalah anak-anak duka,
lahir tanpa pelukan,
dibaptis dengan airmata,
disusui dengan kepahitan yang tak kunjung surut.
Mereka tumbuh dalam tubuh kata,
dengan nadi yang terbuat dari sunyi,
dan mata yang hanya mengenal gelap.
Namun, tidakkah kau bosan melahirkan kesakitan?
Tidakkah kau ingin menulis tentang fajar,
tentang cahaya yang membelah langit,
tentang cinta yang tak tumbuh dari derita?
Atau barangkali, kau telah terlalu akrab dengan luka,
hingga takut jika kebahagiaan datang,
pena akan kehilangan bisiknya,
dan kertas akan kembali menjadi kosong?
Maka, biarlah puisi ini menjadi saksi,
tentang seorang penyair yang tak pernah pulih,
tentang bait-bait yang lahir dari rahim duka,
dan mati dalam pelukan sepi.
Baca juga : Kesepian Yang Tak Beranjak
![]() |
Red Island Beach Banyuwangi 2018 |
3 komentar:
Dalem banget bang ðŸ˜
🥲
Sepertinya ini bukan manusia baru 😂
Posting Komentar