Kesepian yang Tak Beranjak
Kesepian, seperti pengemis tua
yang tak juga beranjak pergi.
Meski telah kau sedekahkan tubuhmu,
ia tetap bersimpuh di sudut jiwamu,
mengulurkan tangan kosong, meminta yang tak bisa kau beri.
Malam-malam kau coba mengusirnya—
menenggak sunyi hingga mabuk,
menyelimuti diri dengan bayang-bayang yang kau panggil cinta.
Tapi kesepian tetap bertahan,
menatapmu dengan mata yang lelah namun setia.
Barangkali, ia bukan tamu yang bisa kau usir.
Barangkali, ia rumah yang harus kau peluk.
Kau pikir, berbagi tubuh akan menjadikannya reda,
menenggelamkan lengang dalam dekap yang asing.
Tapi kesepian tak butuh pelukan,
ia butuh tempat di hatimu yang kosong,
ia butuh kau mengakui keberadaannya.
Kau biarkan lagu-lagu lama mengisi kamar,
mencari gema dari suara yang dulu menghangatkan.
Namun nyanyian itu hanya menyayat lebih dalam,
seperti angin yang menyelinap lewat jendela yang setengah terbuka,
membisikkan nama yang tak lagi menjawab.
Berapa banyak langkah yang telah kau ambil,
mencari tempat di mana sepi tak menjelma bayang-bayang?
Berapa banyak mata yang kau tatap,
berharap menemukan terang di dalamnya?
Tapi sepi tak bisa dihapus dengan kehadiran yang semu.
Ia akan selalu menemukanmu,
duduk di ujung ranjang, mengamatimu dari cermin,
mengiringi langkahmu di trotoar lengang.
Mungkin, sudah saatnya kau berhenti melawan.
Mungkin, sudah saatnya kau genggam tangan kesepian,
dan bertanya dengan suara lirih,
"Apa yang kau inginkan dariku?"
Maka ia akan tersenyum,
dan menjawab dengan suara yang selama ini kau hindari:
"Aku hanya ingin kau mengenali aku sebagai bagian dari dirimu."
1 komentar:
Agak gila kalau penyair emang
Posting Komentar